Pulau yang hilang

" 3 Sekawan "



" 3 Sekawan "

0Setibanya di ruangan Dr. Ben berada, Prof. Wizly segera memeriksa keadaanya. Dan sudah ia duga sebelumnya, ia pingsan karena obat bius yang ia suntikkan tadi.     
0

" Tadi saya suntikkan obat bius sebelum memasangkan penanda padanya, Max", tegasnya. "Tapi karena kau memintanya segera kemari, makanya aku belum memasangkan ini", lanjutnya sambil mengeluarkan sebuah benda berbentuk seperti mesin tatto.     

Ditusukkanlah benda semacam mesin tatto itu pada tengkuk Dr. Ben.     

" Aaawwww!", teriak Dr. Ben yang kemudian membuka matanya dan terperanjat bangun. Ia meraba-raba tengkuknya yang tadi ia rasa seperti ada yang mencubitnya keras. " Apa yang kamu lakukan padaku?", tanya Dr. Ben dengan semua rasa curiganya. Ia melihat Benda semacam mesin tatto di tangan Prof. Wizly. " Benda apa itu?", tanya lagi Dr. Ben sambil menunjuk ke arah mesin itu.     

" Tenang! Tenang! Ben. Prof. Wizly telah membuatmu siuman dari pingsanmu", jelas Max.     

Dr. Ben kembali meraba tengkuknya. Memang tak ada apapun disana, tak ada benjolan, atau bekas apapun. Tapi seperti ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan. 'Semoga saja bukan apa-apa', ucap dalam benaknya.     

Selesai melaksanakan tugasnya, Prof. Wizly kembali ke ruangannya. Ia berhasil mengukir tanda yang bisa dilacak pada tengkuk Dr. Ben. Tanda itu tak bisa dilihat oleh mata manusia. Tanda itu hanya bisa dilihat oleh alat milik Max. Sebuah alat pendeteksi bersensor yang bisa mendeteksi dan melacak semua penanda pegawai dan orang-orang yang ada di bunker Max. Ya! Semua pegawai punya penanda itu. Setiap orang punya penanda yang berbeda, kode yang berbeda di tengkuknya.     

Dalam ruangan Max, Dr. Ben masih terduduk lemah di sofa tempat tadi ia dibaringkan. Karena tak mau membuang banyak waktu, Max segera mengutarakan alasannya mengeluarkan Dr. Ben.     

Awalnya Dr. Ben tak mau menerima apa yang diucapkan Max. Kemudian Max menceritakan semuanya dengan detail dan lebih dalam lagi, ia juga menceritakan kalau ia dapat ide itu dari Beno. Setelah mendengar jika itu adalah ide Beno, Dr. Ben yang tadinya tak setuju dengan tawaran Max menjadi berubah pikiran. Ia mau melakukan itu apa yang tadi Max minta. Ia tahu pasti Beno tengah merencanakan sesuatu.     

" Baik, akan kulakukan apa yang kau minta", tegasnya.     

Rona bahagia tampak di wajah Max, kemudian ia berkata, " Oke bagus, kamu bisa gunakan kamar yang dulu pernah kamu gunakan".     

" Ya, aku suka kamar itu", tapisnya.     

Dr. Ben pun pergi meninggalkan Max sebelum besok ia harus melaksanakan rencana Beno yang entah apa itu tujuannya. Ia diantar menuju kamarnya dulu di dekat gudang pengiriman. Tempat yang dulunya sebagai tempat reset dan penelitian pribadinya. Ia berjalan seorang diri menuju kamarnya itu. Keluar dari bunker itu. Menapaki jalanan aspal selebar 5 meter. Tiba-tiba....     

Gruduk..gruduk..     

Dengan sigap, Dr. Ben mencari dari arah mana suara itu berasal. Dari balik semak belukar di samping jalanan aspal. Ia mencoba mendekatinya, dan....     

Tiba-tiba ia melihat sepasang, ehh..bukan sepasang, tapi dua pasang mata dari balik belukar itu. Siapa mereka?     

" Shuttt!", isyarat salah satu dari mereka sambil meletakkan jari telunjuknya di depan mulut.     

Jarak Dr. Ben semakin dekat dengan mereka. Rasa penasaran memenuhi benaknya. Tentang siapa mereka. Gelap malam dan kurangnya pencahayaan, membuat ia tak bisa melihat jelas wajah dibalik belukar. Tapi setelah kira-kira jarak mereka 1 meter, ia sepertinya mengenal wajah-wajah itu.     

" Beno? Andre?", cetusnya agak keras. Tapi untungnya di jalanan itu sepi, tanpa ada pengamanan para penjaga.     

Kembali telunjuk diletakkan di depan mulut salah satu dari mereka, Beno. Ya, Beno memberi isyarat untuk diam pada Dr. Ben. Hingga mereka pun keluar dari semak belukar itu.     

" Ayo, disini kurang aman", ajak Dr. Ben sambil meneruskan langkahnya menuju kamar lamanya.     

Mereka berjalan beriringan. Beno, Andre, dan Dr. Ben, minus Candra. Andai saja Candra tidak kabur, mereka akan jadi 4 sekawan yang akan menuntaskan Max. Tapi bertiga juga tak apa, mereka akan jadi " 3 Sekawan".     

Akhirnya setelah berjalan kira-kira 700 meter ditemani juga canda dan tawa yang tak pernah mereka urai selama di bunker Max, mereka tiba juga di kamar Dr. Ben tanpa halangan.     

Dibukalah pintu tua itu. Ckittt....suara decitan dari pintu tua nan usang yang terbuat dari kayu terdengar jelas. Dr. Ben masuk terlebih dahulu, diikuti Beno dan Andre. Pengap dan penuh debu yang dirasakan di ruangan itu. Masih tertata rapi nampak di depan mata mereka. Dipan dan kasurnya, pajangan foto-foto Dr. Ben dan Arash juga menghiasi ruangan itu, meski tertutup debu, banyak juga alat-alat yang sering ia gunakan dulu untuk reset dan penelitiannya.     

" Bantu aku merapikan ini semua ya", ucap Dr. Ben. Mereka bersama merapikan dan membersihkan kembali kamar Dr. Ben.     

Seusai membersihkan kamar Dr. Ben, Dr. Ben duduk di ranjang dan memulai perbincangan mereka setelah berkumpul bersama lagi.     

" Jadi apa rencana kita selanjutnya?", tanyanya.     

Andre yang tengah terduduk juga namun di atas sebuah kursi, ia menjawab, "Aku baru tau kalau Dr. Ben dibebaskan". " Apa ini rencanamu Beno?", lanjutnya.     

" Tentu saja, aku berusul padanya tentang pembuatan makhluk bergigi tajam di hutan bubu. Dan manusianya berasal dari para warga desa. Aku bilang aku butuh bantuanmu, Dr. Ben", jelas Beno.     

Perbincangan mereka terus berlanjut sampai larut malam, hingga mereka tertidur di atas ranjang yang sama.     

Cahaya mentari menerobos masuk dari celah jendela kamar Dr. Ben pagi itu. Membuat Andre dan Dr. Ben terbangun. Mata Andre segera mencari-cari Beno yang tak ada disana.     

" Dimana Beno?", tanya Andre yang masih mengumpulkan nyawanya.     

Dr. Ben yang sama-sama baru bangun, ia juga tak tahu kemana Beno pergi. Tapi yang ia lihat, pintu penutup lorong sempit yang berada tepat di bawah fotonya dan Arash terbuka. Lorong yang dulu sempat ia lalui dengan Andre dan Arash untuk masuk ke bunker.     

" Apa Beno pergi kesana?", tanya Dr. Ben pada Andre sambil menunjuk ke arah lorong yang telah terbuka pintunya tadi.     

Andre menatap ke arah yang ditunjuk Dr. Ben. " Sepertinya begitu. Bukankan itu lorong sempit yang kita lalui dulu?", tanyanya.     

Kepala Dr. Ben mengangguk. Mengiyakan pertanyaan Andre.     

" Apa dia tahu lorong ini mengarah kemana?",lanjut tanya Dr. Ben.     

Andre hanya menjawabnya dengan mengangkat bahunya. Ia juga tidak tahu kalau Beno tahu atau tidak lorong ini mengarah kemana. Ia pun mencoba untuk masuk ke lorong itu. Tapi...     

Tiba-tiba...Beno datang tergopoh-gopoh dari sana. Napas yang keluar dari hidungnya terengah-engah. " Kawan-kawan!! ...Aku.... menemukan sesuatu", ucapnya terputus-putus.     

Kepalanya sudah nongol di ambang pintu penutup lorong. " Aku menemukan sebuah jalan...", tegasnya dengam napas masih terengah-engah hingga kalimat yang ia ucapkan terputus oleh timpalan Andre, " Jalan menuju keluar benteng ini, kah?".     

Kepala Beno menggeleng. Tanda itu bukan kalimat yang hendak ia jelaskan. Tapi..kalimat inilah yang mau ia beritahukan pada Dr. Ben dan Andre, "Aku menemukan jalan yang bisa menuju ke bunker Max, dan lebih tepatnya bisa menuju ventilasi di bunker".     

" Berarti itu bisa langsung menuju ke kamar kita? Melalui cermin itu?", timpal Andre.     

" Benar, aku tadi sampai ke kamar kita. Dan kita bisa gunakan ventilasi itu untuk menjalankan rencana tanpa diketahui orang lain", tambah Beno.     

Mereka terdiam sesaat, sebelum Dr. Ben kembali menimpali keheningan di kamar itu, "Jadi apa rencana kita selanjutnya?".     

Kemudian Beno menceritakan rencananya pada kedua sahabatnya itu, " Jadi begini, aku berencana untuk...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.